Obama dan Hegemoni Media Massa

Barrack Obama

Kemenangan Barrack Obama atas John McCain dalam pemilihan presiden Amerika Serikat memang mengejutkan, walau sudah diduga sebelumnya. Dimana Obama dalam debat presiden sebelum pemilihan selalu menang atas rivalnya dari partai Republik itu. Terlepas dari fakta bahwa Obama berkulit hitam dan argumen  tidak berpengalaman, tidak menguasai politik luar negeri serta berorientasi sosialis-komunis. Toh, banyak pihak mengakui Obama memiliki semua persyaratan menjadi pemimpin Amerika Serikat. Obama adalah tokoh yang cerdas dan memiliki visi kepemimpinan yang jelas.Kemenangan Obama juga menjungkirbalikkan fakta, bahwa hegemoni media massa yang selalu menyatakan bahwa berita dan isi media massa di Amerika Serikat disesuaikan dengan kebutuhan ideologi kapitalis atau korporat. Media massa dipandang seperti dikendalikan oleh golongan yang dominan dalam masyarakat dan membantu golongan itu dalam menggunakan kekuasaannya atas seluruh masyarakat lainnya (Sallach, 1974). Dan golongan yang paling dominan jelas kulit putih yang mencapai 83% dari seluruh populasi penduduk Amerika Serikat. Padahal Media massa merupakan alat yang sangat penting dalam melakukan kampanye.

Gagasan hegemoni media adalah sebuah gagasan yang sulit diuji dengan riset. Meskipun menunjukkan pengaruh yang sangat kuat, gagasan ini agak samar dalam implikasi yang sebenarnya. Namun demikian, usaha untuk mengevaluasi gagasan hegemoni media massa, setidaknya berkaitan dengan liputan berita, telah dibuat oleh Altheide (1984). Altheide mengatakan bahwa jika Anda memperhatikan tulisan-tulisan mengenai hegemoni media, maka tulisan-tulisan itu tampanya memuat tiga asumsi yang bisa diuji dengan bukti : (1) Sosialisasi jurnalis meliputi petunjuk, rutinitas dan orientasi yang penuh dengan ideologi yang dominan.  (2) Jurnalis cenderung meliput topik-topik dan menyajikan laporan berita yang konservatif dan mendukung status quo. (3) Jurnalis cenderung menyajikan liputan yang pro Amerika dan liputan luar negeri yang negatif, terutama negara-negara Dunia Ketiga.

Walaupun banyak pengamat berpendapat, bahwa Obama diuntungkan  oleh situasi kepenatan rakyat AS terhadap pemerintahan presiden Bush, yang diperkuat oleh adanya serangan krisis finansial 15 September lalu. Seperti yang dijadikan salah satu slogan kampanye Obama : Eight (years) is enough,  ( delapan tahun cukup) atau tidak ada tempat lagi bagi partai Republik. Namun kemengan Obama tetap dianggap sensasional! Hegemoni media massa AS yang mengukung golongan dominan dan status quo,  bukan jadi rintangan untuk melakukan kampanye, walau sering sekali isu-isu rasis menerpanya (black campaign) dari lawannya. Obama melakukan strategi “social movement” dalam kampanyenya. Sebagai orang yang memiliki pengalaman community oragnizer, Obama tampak memiliki pemahaman yang baik tentang karakter, kelemahan serta kekuatan civil society. Obama juga mampu mengembangkan logika empowerment  yang menjadi salah satu ciri khas gerakan masyarakat sipil dalam kampanyenya. Penerapan logika ini misalnya tampak pada tema sentral kampanye yang diusung Obama, yaitu “Change” dan “Hope”.

Penggunaan tema ini menyiratkan keberpihakan Obama pada kalangan mainstrem (kelas sosial ekonomi menengah ke atas) yang sedang menikmati situasi kondisi saat ini, yang pasti menginginkan status quo. Obama terlihat akan lebih condong berjuang untuk perubahan (perbaikan) kehidupan kalangan yang selama ini termarginalkan baik secara ekonomi dan sosial budaya, serta kalangan minoritas yang hak-haknya dinomorduakan oleh hak-hak kelompok dominan. Dengan strategi itu, Obama mampu memporak-porandakan hegemoni media massa yang  lebih berpihak ke golongan yang dominan, sehingga media massa justru akhirnya berbalik mendukungnya. Kalau media massa sudah mendukung  (dikuasi), apapun bisa terjadi. Hal itu dibuktikan oleh Barrack Husein Obama!